Sabtu, 18 Januari 2014

WS Rendra


WS Rendra adalah seorang sastrawan Indonesia yang dijulki sebagai “Burung Merak”. Lahir di Solo, Jawa Tengah pada tanggal 7 November 1935. Nama aslinya adalah Willibrordus Surendra Broto Rendra. Beliau adalah anak dari sepasang kekasih yang bernama R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang dramawan tradisional. Di samping itu, beliau juga merupakan seorang guru bahasa Indonesia dan guru bahasa Jawa di sebuah sekolah katolik yang ada di Solo. Ibunya adalah seorang penari Serimpi di keraton Majapahit.

Hal menarik yang dimiliki WS Rendra adalah julukan “Burung Merak” yang beliau dapatkan pada saat beliau bersama temanya yang bernama Edi Haryono pergi ke kebun binatang Gembiraloka dan kemudian melihat burung merak jantan yang dikerumuni merak betina. Kemudian WS Rendra berkata “seperti itulah saya”. Sikap beliau memang seperti burung merak jantan yang suka memamerkan bulu-bulu indahnya. Begitulah ucap Edi.

Beliau menempuh pendidikan dasar kanak-kanak di TK Marsudirini, Yayasan Kanisius. Kemudian melanjutkannya ke SD sampai SMA katolik, yaitu SMA Pangudi Luhur Santo Yosef di Solo. Bakat sastra Rendra mulai tampak saat beliau masih berada di bangku SMP. Beliau mulai menulis berbagai macam karya seperti puisi, cerita pendek, dan drama yang kemudian dipentaskannya saat acara sekolah. Bukan hanya menulis karya sastra, tetapi ia juga mahir berakting di atas panggung. 

Kaki Palsu adalah drama pertamanya yang dipentaskan ketika ia masih duduk di bangku SMP. Ketika beliau sudah manginjak jenjang SMA, dramanya yang berjudul Orang-orang di Tikungan Jalan mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta pada tahun 1954.

Setelah mendapatkan penghargaan, semagatnya semakin membara. Menekuni dunia sastra merupakan niat dan keinginannya sejak dini. Setelah tamat SMA pada tahun 1955, ia melanjutkan kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada. Sejak kuliah di Universitas Gajah Mada, ia giat menulis cerpen dan essei di berbagai majalah seperti Mimbar Indonesia, Siasat, Kisah, Basis, dan Budaya Jaya. Puisi pertamanya ia publikasikan lewat majalah Siasat dan diterbitkan pada tahun 1952. Di kemudian hari ia juga menulis puisi dan naskah drama. Sebelum berangkat ke Amerika, ia banyak menulis sajak maupun drama di antaranya, kumpulan sajak Balada Orang-orang Tercinta serta Empat Kumpulan Sajak. Kemudian setelah mendapatkan gelar Sarjana Muda, beliau melanjutkan pendidikannya di American Academy of Dramatical Art, New York, USA.

Sekembalinya dari Amerika pada tahun 1967, beliau mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Mulai dari memimpin Bengkel Teater, menulis naskah, menyutradarai, dan memerankannya, dilakukannya dengan sangat baik. Kehadiran Bengkel Teater ini membawa suasana baru pada sastra Indonesia. 

Beliau sering menulis karya sastra yang menyuarakan kehidupan kelas bawah seperti puisinya yang berjudul Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta dan puisi Pesan Pencopet Kepada Pacarnya. Banyak lagi karya-karyanya yang sangat terkenal, seperti Blues untuk Bonnie, Pamphleten van een Dichter, State of Emergency, Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api, Mencari Bapak.

Karya WS Rendra sangat melegenda baik dalam negeri bahkan sampai ke luar negeri. Di antara sajak-sajaknya ada yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris seperti Rendra: Ballads and Blues: Poems oleh Oxford University Press pada tahun 1974. Demikian juga naskah drama karyanya banyak yang telah dipentaskan, seperti Oedipus Rex, Kasidah Barzanji, Perang Troya Tidak Akan Meletus, dan lain sebagainya.

Namun, pada tahun 1977, beliau kesulitan untuk menampilkan karya sastranya baik dalam mementaskan drama ataupun membacakan puisinya. Kelompok teaternya pun juga bubar karena adanya tekanan politik yang saat itu adalah masa Orde Baru. Maka beliau menulis sebuah karya yang berbau protes pada masa itu yang kemudian membuatnya ditahan oleh pemerintah berkuasa saat itu. Ketika itu pementasannya sering sekali dilarang untuk dipentaskan. Seperti dramanya yang terkenal berjudul SEKDA dan Mastodon dan Burung Kondor dilarang untuk dipentaskan di Taman Ismail Marzuki.

Untuk mengatasi krisis ekonominya WS Rendra hijrah ke Jakarta, lalu pindah ke Depok. Pada 1985, beliau mendirikan Bengkel Teater Rendra yang masih berdiri sampai sekarang dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya. Di atas lahan berukuran 3 hektare ini, dibangunlah bangunan Bengkel Teater Rendra dan tempat tinggal Rendra beserta keluarganya, serta bangunan sanggar untuk latihan drama dan tari.

Menyinggung mengenai teori harmoni berkeseniannya, beliau mengatakan bahwa “mise en scene” tak lebih sebagai elemen lain yang tidak bisa berdiri sendiri, dalam arti ia masih terikat oleh kepentingan harmoni dalam pertemuannya dengan elemen-elemen lain. Lebih jelasnya ia mengatakan, bahwa ia tidak memiliki kredo seni, yang ada adalah kredo kehidupan yaitu kredo yang berdasarkan filsafat keseniannya yang mengabdi kepada kebebasan, kejujuran dan harmoni.

WS Rendra adalah seorang yang tak kenal menyerah. Jika gagal maka beliau akan bangkit lagi. Seperti saat karyanya tak bisa ditampilkan di depan publik dan Bengkel Teaternya bubar, beliau tetap semangat dan membangun Bengkel Teater Rendra. Sosok yang selalu percaya diri ini akhirnya meninggal di Depok, Jawa Barat pada tanggal 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ash Habul Jannah Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template