Sabtu, 18 Januari 2014

Sutan Takdir Alisjahbana



Sutan Takdir Alisjahbana atau lebih dikenal dengan STA adalah seorang ahli tata bahasa dan juga seorang tokoh sastrawan Indonesia pada angkatan Pujangga Baru. Beliau lahir di Natal, Sumatera Utara pada tanggal 11 Februari 1908. Beliau diberi nama Takdir karena beliau hanya memiliki 4 jari tangan.

STA memiliki seorang ibu yang bernama Puti Samiah. Beliau adalah seorang Minangkabau yang telah tinggal di Natal secara turun temurun. Dari Ibunya, STA berkerabat dengan Sutan Sjahrir yang merupakan perdana meneri pertama Indonesia. Ayah STA bernama Raden Alisyahbana dengan gelar Sutan Arbi adalah seorang guru. Kakek STA bernama Sutan Mohamad Zahab yang merupakan kakek dari garis ayahnya adalah seorang yang dianggap memiliki pengetahuan agama dan hukum yang luas.

Ketika STA masih kecil, beliau bukan seorang kutu buku. Beliau lebih suka bermain di luar. Setelah lulus dari sekolah dasar, beliau pergi ke Bandung. Jika musim liburan tiba, beliau juga sering menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam dari Jawa menuju ke Sumatera.

Mula-mula, STA sekolah di HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Bengkulu pada tahun 1915 dan lulus pada tahun 1921. Kemudian beliau melanjutkan sekolahnya di Kweekschool, Bukit Tinggi, Lahat, Muara Enim pada tahun 1921 dan lulus pada tahun 1925. Selanjutnya beliau melanjutkan pendidikannya di Hogere Kweekschool, Bandung pada tahun 1925 sampai 1928 serta Hoofdacte Cursus, Jakarta pada tahun 1931 sampai 1933. Hoofdacte Cursus merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia Belanda pada saat itu. Kemudian beliau melanjutakan di Rechtschogeschool, Jakarta.

Pada tahun 1942, Sutan Takdir Alisjahbana mendapatkan gelar Meester in de rechten (Sarjana Hukum). Belian juga mengikuti kuliah-kuliah tentang ilmu bahasan umum, kebudayaan Asia, dan filsafat. Ia menerima gelar Dr. Honoris Causa dari Universitas Indonesia (UI) pada tahun 1979 dan Universitas Sains di Penang, Malaysia pada tahun 1987.

Di masa kariernya, Sutan Takdir Alisjahbana pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka selama 3 tahun yaitu dari tahun 1930 sampai 1933. Kemudian beliau mendirikan sekaligus memimpin redaksi majalah Poedjangga Baroe (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962).

Beliau pernah menjadi guru HKS di Palembang pada tahun 1928 sampai 1929. Beliau juga merupakan dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di Universitas Indonesia pada tahun 1946 sampai 1948. Beliau merupakan guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Univesitas Nasioal, Jakarta pada tahun 1950 sampai 1958. Beliau juga guru besar Tata Bahasa di Universitas Andalas, Padang pada tahun 1956 sampai 1958. Selain itu, beliau juga guru besar dan Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur pada tahun 1963 sampai 1968.

Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, Sutan Takdir Alisjahbana menjadi anggota parlemen pada tahun 1945 sampai1949. Beliau juga menjadi anggota Komite Nasional Indonesia, juga anggota Konstituante pada tahun 1950 sampai 1960. Selain itu, beliau juga menjadi anggota Societe de linguitique de Paris sejak 1951, menjadi anggota Commite of Directiors of Study Mankind di Amerika Serikat sejak 1968, menjadi anggota World Futures Studies Federation di Roma sejak 1974, dan anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde di Belanda sejak 1976. 

Beliau juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional di Jakarta, Ketua Akademi Jakarta pada tahun 1970 sampai 1994, dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya sejak tahun 1979 sampai 1994, dan menjadi Direktur Balai Seni Toyanbungkah di Bali pada tahun 1994.

Sutan Takdir merupakan salah satu tokoh pembaharu Indonesia yang memiliki pandangan liberal. Pemikirannya cenderung pro-modernisasi dan pro-Barat membuatnya sempat berdebat dengan cendekiawan Indonesia lainnya yang berpikiran anti-materialisme, anti-modernisasi, dan anti-Barat. Karena menurutnya, Indonesia harus mengejar ketinggalannya dengan mencari materi, memodernsasikan pemikiran, dan belajar ilmu-ilmu Barat.

Dalam kedudukannya sebagai penulis ahli dan sebagai ketua Komisi Bahasa selama pendudukan Jepang, Sutan Takdir Alisjahbana melakukan modernisasi Bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa nasional yang menjadi pemersatu bangsa. Beliau juga yang pertama kali menulis Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia (1936) yang masih digunakan sampai sekarang. Serta beliau yang pertama kali menulis Kamus Istilah yang berisi istilah-istilah baru yang dibutuhkan oleh Negara baru yang ingin mengejar modernisasi dalam berbagai bidang.

Setelah Kantor Bahasa ditutup pada akhir Perang Dunia kedua, beliau tetap mempengaruhi perkembangan Bahasa Indonesia melalui redaksi yang ia pimpin dan ia terbitkan yaitu majalah Pembina Bahasa. Sebelum kemerdekaan, beliau adalah pencetus Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo. Pada tahun 1970, beliau menjadi Ketua Gerakan Pembina Bahasa Indonesia dan inisiator Konferensi Pertama Bahasa-bahasa Asia tentang “The Modernization of The Languages in Asia” pada tanggal 29 September sampai 1 Oktober 1967.

Sampai akhir hayatnya, beliau belum bisa mewujudkan cita-cita terbesarnya, yaitu menjadikan Bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar kawasan di Asia Tenggara. Beliau kecewa, Bahasa Indonesia semakin surut perkembangannya. Padahal, bahasa itu pernah menggetarkan dunia linguistik saat dijadikan bahasa persatuan untuk penduduk di 13.000 pulau di Nusantara.

Kiprahnya di dunia saatra dimulai dengan tulisannya yang berjudul Tak Putus Dirundung Malang yang terbit pada tahun 1929. Disusul dengan Diam Tak Kunjung Padam yang terbit pada tahun 1932. Lalu karyanya yang sangat terkenal yaitu Layar Terkembang yang terbit pada tahun 1936, disusul dengan Anak Perawan di Sarang Penyamun yang diterbitkan pada tahun 1941. Kemudian Puisi Lama (1941), dan Puisi Baru (1946), lalu Grotta Azzura yang terbit pada tahun 1970. Disusul dengan Tebaran Mega serta Kalah dan Menang yang terbit pada tahun 1978.

Dalam novel Layar Terkembang yang sudah beberapa kali dicetak ulang, beliau menuangkan gagasannya dalam memajukan masyarakat, terutama gagasan memajukan peranan kaum wanita melalui tokoh yang bernama Tuti sebagai wanita Indonesia yang berpikiran maju yang aktif dalam pergerakan wanita.

Itulah Sutan Takdir Alisjahbana, yang selalu bercita-cita memajukan bangsa Indonesia dengan gagasan-gagasannya yang ia tulis lewat karya-karyanya yang memukau. Beliau meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 dalam usia 86 tahun. Walaupun berada dalam keterbatasan fisik, beliau tetap berusaha dan tak kenal menyerah hingga akhir hayatnya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ash Habul Jannah Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template